Rabu, 13 November 2019

Anjuran Bershalawat dengan Suara Keras Ketika Mendengar Nama Nabi

BincangSyariah.Com – Dalam Islam, ketika kita mendengar nama Nabi Muhammad Saw disebut, maka kita dianjurkan untuk membaca shalawat kepada beliau. Terdapat banyak hadis yang menyatakan bahwa orang yang enggan membaca shalawat ketika nama Nabi Muhammad Saw disebut sebagai orang pelit.
Di antaranya adalah hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
البَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang sangat pelit adalah orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, ia tidak mau membaca shalawat kepadaku.
Bahkan dalam hadis lain disebutkan bahwa orang yang tidak mau membaca shalawat ketika mendengar nama Nabi Muhammad Saw, maka dia termasuk orang celaka. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Sunni dari Jabir, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ فقد شقي
orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, kemudian ia tidak mau membaca shalawat kepadaku, maka ia telah celaka.
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar, ketika kita membaca shalawat kepada Nabi Saw saat mendengar nama beliau disebut, maka kita dianjurkan untuk membaca dengan suara keras, bukan suara pelan. Anjuran ini juga disampaikan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi dan ulama lainnya.
Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Azkar sebagai berikut;
يستحب لقارئ الحديث وغيره ممن في معناه اذا ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم ان يرفع صوته بالصلاة عليه والتسليم ولا يبالغ في الرفع مبالغة فاحشة وممن نص على رفع الصوت الامام الحافظ ابو بكر الخطيب البغدادي واخرون
Disunnahkan bagi orang yang membaca hadis dan orang lainnya yang semakna, ketika nama Rasulullah Saw disebut, untuk mengeraskan suaranya ketika membaca shalawat dan salam kepada beliau. Dan jangan terlalu keras. Di antara ulama yang menegaskan kesunnahan ini adalah Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi dan ulama lainnya.


Tiga Ilmu yang Harus Dipelajari Umat Muslim

BincangSyariah.Com – Sebagaimana diketahui, ilmu dalam Islam adalah pondasi yang penting. Risalah kewahyuan Nabi Muhammad kali pertama mengajarkan tentang semangat mencari ilmu. Kata Iqra’ adalah kata yang menandai perubahan sosial di Arab saat itu yang didasarkan pada ilmu. Dengannya, Muhammad diarahkan untuk mencerdaskan umatnya melalui membaca. Karena membaca adalah gerbang ilmu.
Sehingga tidak mengherankan ilmu menempati posisi penting dalam Islam. termasuk bagi para hamba yang menempuh perjalanan spiritualnya (salik) menuju Khaliq. Seorang salik dalam dunia tasawuf juga harus menguasai ilmu. Tidak bisa dalam wushul kepada Allah tanpa disertai dan dilandasi dengan ilmu.
Lantas kemudian apa ilmu yang harus dipelajari seorang salik. Kiai Sholeh Darat menjelaskan dalam kitab Minhaj al-Atqiya fi Syarhi Ma’rifat al-Adzkiya’ bahwa ada tiga ilmu yang harus dikuasai oleh seorang salik. Mengkaji ketiganya, menurut kiai Sholeh Darat adalah hal yang mutlak harus dilakukan.
Pertama, mempelajari ilmu syariat. Ilmu syariat ini secara sederhana untuk menjadikan ibadah kita sah dan diterima oleh Allah. Di dalam ilmu ini salik mempelajari tentang bagaimana melakukan salat, puasa, bersuci, zakat, haji, nikah, hubungan jual-beli, dan lain sebagainya. Apapun yang menyangkut kehidupan manusia harus menguasai ilmunya. Baik berhubungan dengan Allah maupun makhluknya
Dalam konteks ini, kiai Sholeh Darat dengan tegas tidak menganjurkan para salik untuk keluar dari salah satu empat madzhab. Menurutnya, seorang salik harus mempelajari dan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang telah masyhur. Keempatnya yaitu Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
moko saben-saben wong mukmin meluho opo madzhabe ingndalem ilmune syariat lan ora wenang metu saking madzhab papat lan ora wenang melu madzhab liyan fafat al-masyhur.
Artinya: “maka setiap mukmin hendaklah mengikuti madzhab di dalam ilmu syariat. Tidak diperkenankan keluar dari empat madzhab dan mengikuti selain empat madzhab yang telah masyhur.”
Kedua, mempelajari ilmu ushul al-din. Ilmu ini mempelajari tentang keyakinan umat Islam. Kaitannya dengan tauhid atau akidah. Kiai Sholeh Darat menganjurkan agar para salik mengaji akidahnya ahlus sunnah. Ia dengan tegas melarang para salik untuk mengikuti kelompok Mu’tazilah dan para filsuf yang meyakini bahwa Tuhan memiliki bentuk jism (falasifah mujassimah).
“lan maleh siro wajib ngaji ilmu ushuludin lan iya iku ilmu ingkang ngesahaken ingdalem i’tiqod ahlus sunah aja kasi mengo i’tiqode wong mu’tazilah lan falasifah mujassimah
Artinya:
“kemudian kamu juga harus mengaji ilmu ushuludin yang menjadikan benarnya keyakinanmu dalam akidah ahlus sunnah. Jangan sampai engkau berpaling kepada orang Mu’tazilah dan falasifah mujassimah.”
Ketiga, mempelajari ilmu tentang munjiyat dan muhlikatKiai Sholeh Darat secara khusus mengarang kitab yang berjudul Munjiyat. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din milik Al-Ghazali. Isi kitab ini seputar 10 sifat yang menyelamatkan dan membinasakan seorang muslim.
Ilmu ketiga yang dimaksud kiai Sholeh Darat diarahkan dalam rangka untuk memberihkan hati manusia. Dalam menjalani hidup, manusia perlu menjaga hatinya dari amrodh al-qulub (penyakit hati). Ia mencontohkan penyakit ini berupa akhlak yang tercela, sombong, riya’, dengki, terlalu bergairah dalam urusan dunia, dan lain sebagainya.
Dari pemaparannya, kiai Sholeh Darat secara eksplisit mengarahkan para pengamal tarekat, salik, dan muslim pada umumnya untuk memperkokoh ideologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ketiga ilmu ini kemudian diterjemahkan oleh Hadrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dengan baik dalam mendefinisikan Aswaja sebagai kelompok (madzhab).
Definisi ini lahir atas kondisi masyarakat muslim Jawa yang pada awal abad ke-20 “diserang” oleh gerakan purifikasi Islam. Dengan menyesatkan praktek keagamaan masyarakat muslim di Nusantara yang sudah berkembang lama seperti ziarah kubur, tahlil, dan lainnya. Sehingga KH Hasyim Asy’ari membentengi mereka dengan memberikan batasan dengan meyakinkan mereka adalah kelompok yang benar, bukan kelompok sesat sebagaimana yang dituduhkan.
Dalam hal ini, mereka adalah pengikut Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sebuah kelompok mayoritas dalam umat Islam. Batasan mereka yaitu mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih, berakidah ahlus sunnah dan bertasawuf yang merujuk pada ajaran imam al-Ghazali.
Wallahu a’lam.

Tafsir surat Albaqarah 282

 
BincangSyariah.Com – Dalam menjalani kehidupan bermuamalah, manusia hampir tidak bisa terlepas dari masalah utang-piutang. Utang dalam bahasa Arab disebut sebagai dayn. Imam As-Sya‘rowi menjelaskan dayn sebagai uang yang dipinjam (diutang) dalam tempo tertentu yang telah ditentukan. Orang yang berutang disebut madyun atau madin. Orang yang memberi utang atau pinjaman disebut da‘in. Terkait persoalan utang-piutang, Al-Qur’an telah mengatur beberapa hal penting dalam surah Al-Baqarah ayat 282-283.
Wajibkah Mencatat Utang?
Ayat 282 disebutkan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ ….
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya…. (Al-Baqarah: 282)
Lafaz faktubuh pada ayat tersebut menunjukkan kata perintah untuk mencatat transaksi utang piutang. Catatan ini menurut Ibnu Asyur dalam tafsirnya Al-Tahrir wa Al-Tanwir memiliki dua kemungkinan: catatan yang ditulis oleh dua pihak yang saling berutang atau salah satu di antara keduanya sebagai bukti jika terjadi pengingkaran; serta catatan dari pihak ketiga sekaligus sebagai saksi apabila kedua pihak memang tidak bisa mencatat, dan inilah yang banyak terjadi pada saat turunnya ayat dimana kondisi bangsa Arab belum akrab dengan dunia tulisan.
Berkaitan dengan wajib tidaknya mencatat jumlah nominal dalam transaksi utang-piutang, Imam Al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menyebutkan dua perbedaan ulama. Pendapat pertama mengatakan adanya kewajiban mencatat utang baik nominalnya besar maupun sedikit untuk menghindari keragu-raguan, sebagaimana mengutip riwayat Al-Dhahak, Ibnu Juraij, dan Qatadah
Kewajiban ini menurut Imam Al-Qurthubi juga disebabkan agar tidak terjadi pengingkaran antar kedua pihak jika saling lupa di kemudian hari. Namun pada jual beli kontan tidak diwajibkan pencatatan agar proses transaksi lebih cepat dan mudah.
Adapun pendapat kedua mengatakan tidak diwajibkan mencatat utang, dengan mengutip riwayat Al-Sya’bi. Hal ini dikarenakan ayat setelahnya yang artinya “jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat utangnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah swt”, menunjukkan rukhsah atau keringanan untuk tidak adanya kewajiban pencatatan utang, dengan syarat kedua pihak saling pecaya menjaga amanat utang.
Pendapat Jumhur (mayoritas ulama) kemudian menyimpulkan bahwa pencatatan anggaran utang baik sedikit maupun banyak dihukumi sunnah atau nadb, jika kedua pihak saling amanah dan orang yang diutangi juga dapat dipercaya.
Namun jika orang yang diberi utang diduga kurang dapat dipercaya, maka hukumnya wajib. Hal demikian dikarenakan agar tidak adanya kesalahan dan kekeliruan dalam jumlah dan nominal barang utang sebab lupa, sehingga lebih dianjurkan untuk dicatat.
Perlukah Menghadirkan Saksi?
Masih di ayat yang sama, Allah menyebutkan:
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ ….
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya…
Selain dianjurkan membuat catatan sebagai saksi dalam utang piutang, saksi juga dapat berupa kehadiran pihak ketiga dalam rangka menyaksikan transaksi utang-piutang serta menguatkan kepercayaan terkait masalah uang atau harta.
Ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mendatangkan saksi dalam masalah ini. Menurut Jumhur salaf, wajib mendatangkan saksi, sedangkan menurut para ahli fiqh modern hukumnya nadb atau sunnah seperti Malik, Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Ahmad.
Begitu juga Imam Al-Qurthubi dan Imam Al-Jashas dalam kedua tafsir Ahkam nya menuturkan bahwa pendapat yang shahih adalah tentang kesunnahan menghadirkan saksi sebagai suatu kehati-hatian.
Oleh karenanya, jangan sampai memberatkan pihak ketiga sebagai saksi yang hadir atau yang mencatat transaksi utang piutang, dengan memaksa dan mengganggu di tengah kesibukannya yang lain.
Pihak ketiga sebagai saksi baik seorang laki-laki maupun dua orang perempuan juga dituntut untuk tetap amanah, dengan tidak mengada-ada dalam bersaksi atau memanipulasi catatan transaksi utang antar kedua pihak.
Perlukah Adanya Barang Jaminan?
Selanjutnya ada ayat 282 Allah mengatakan:
وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ ٢٨٣
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Setelah menjelaskan perlu adanya saksi dan catatan dalam transaksi utang piutang, Allah juga memberikan solusi jika kedua pihak tidak mampu mendatangkannya atau dalam keadaan bepergian yang menyebabkan tidak dapat mencatat proses transaksi.
Solusinya adalah orang yang memberi utang atau da‘in dapat meminta barang gadai (rahn) sebagai jaminan pelunasan utang, jika dikhawatirkan ada kemungkinan tidak amanah dari pihak madyun. Namun jika kedua pihak saling percaya, maka hal ini tidak perlu dilakukan.
Yang perlu diingat, status barang gadai adalah jaminan kepercayaan bagi pemberi utang, sehingga tidak memberi konsekuensi perpindahan kepemilikan barang tersebut. Oleh karenanya, jika pemberi utang memanfaatkan barang gadai milik madyun dan ia mendapat keuntungan darinya, maka termasuk riba, seperti dalam hadis riwayat Imam AL-Bayhaqi:
كُلُّ قَرضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُو وَجْهٌ مِنْ وُجُوهُ الرِبا
Setiap pinjaman/utang yang memberikan keuntungan, maka keuntungan itu adalah salah satu bentuk riba.
Dengan demikian, urusan utang-piutang merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh setiap muslim karena menyangkut hubungan muamalah dengan sesamanya. Imam Al-Sya’rowi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pengadaan saksi pihak ketiga maupun dianjurkan adanya pencatatan utang pada dasarnya untuk menjalankan perintah Allah dalam rangka menghilangkan kesulitan hamba-Nya.
Secara zahir ayat ini seperti ditujukan untuk menjaga hak orang yang memberi utang (da‘in), namun sebenarnya ayat ini justru sangat memerhatikan madyun. Orang yang berutang jika ia menyadari bahwa utang adalah janji yang harus ditepati, maka ia akan berusaha keras untuk menunaikannya.
Beban hidupnya kemudian menjadi berlipat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga menunaikan utangnya, sedangkan orang yang memberikan utang sudah dalam keadaan berkecukupan. Sehingga melalui ayat ini, selain melatih pentingnya menjaga amanah bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi utang-piutang.
Allah ingin menjaga hak orang-orang tidak mampu di luar sana agar dapat menunaikan kewajiban utangnya dengan baik tanpa adanya kecurangan dari oknum-oknum yang membantunya memberi pinjaman jika terjadi lupa di antara keduanya. Wallahu a’lam

Senin, 28 Oktober 2019

fenomena Hijra

Hijrah, kata ini sedang tren di Indonesia saat ini. Tidak hanya masyarakat biasa, kalangan artis pun tengah dilanda tren ini. Lalu apa itu hijrah?

1. Ancaman terhadap NKRI tergantung dari varian hijrah

Menurut David, varian kelompok masyarakat yang menganggap dirinya hijrah saat ini adalah hijrah yang dilatarbelakangi dan bermotif kosmopolitan atau gaya hidup urban.
Hijrah jenis ini  tidak mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tren ini, lanjut David, hanya sebuah respons atas modernitas dalam gaya hidup, yang menurut pelakunya tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan juga tidak mencerminkan budaya timur.
Sedangkan fenomena hijrah yang cukup plural adalah tren hijrah yang dilatari dan bermotif ideologi transnasional.
Varian hijrah ini dinilai dapat mengancam NKRI. "Kenapa? Karena hijrah ini sudah sampai kepada titik ideologi,” ujar David, Kamis (25/7), di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

2. Terlambatnya kehadiran negara menjadi salah satu pemicu munculnya hijrah pada tingkat ideologi

Menurut David, kondisi di lapangan saat ini menunjukkan bahwa bukan hanya varian terkait gaya hidup saja yang rentan akan perubahan menuju ideologi. Bahkan, orang yang tadinya berprinsip sekuler-modern juga rentan terpapar ideologi.

3. Perlu pemahaman masyarakat terkait hijrah itu sendiri

David menilai, perlu dilakukan riset sosio-antro-politis untuk memetakan fenomena hijrah secara lebih komprehensif, akurat, dan presisi. Tujuannya adalah agar pendekatan dalam menghadapi masyarakat yang melakukan tindakan hijrah berada pada kondisi yang tepat dan terarah.
Selaras dengan David, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, makna hijrah yang sesuai dengan ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 218 adalah berpindah dari perilaku buruk ke perilaku baik.
Masih kata Jaleswari, pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, bahwa hijrah bermakna baik jika menuju sikap kolaboratif, sehingga jika itu terjadi maka harus disebarkan ke seluruh elemen anak bangsa.
“Dalam pidato Presiden Jokowi November lalu, Presiden mengingatkan hijrah harus dimaknai dengan artikulasi yang bersifat positif. Kita semua harus hijrah dari pesimisme ke optimisme, konsumtif ke produktif, dari marah-marah ke sabar-sabar, yang individualistik ke kolaboratif,” ujar wanita yang akrab disapa Dani ini.

4. Negara tidak boleh salah langkah menghadapi fenomena hijrah

David menjelaskan, jika negara salah dalam memahami dan mengatasi fenomena tren hijrah, maka akan memicu resistensi terhadap kehadiran negara, bahkan bisa sampai pada titik anti NKRI.
Terkait hal ini, dia menegaskan, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sesungguhnya harus menjadi tulang punggung hijrah dalam nafas keislaman dan keindonesiaan.
Dani juga mengatakan, kaum yang melakukan hijrah harus ditemani, harus dibina dengan agama. Pemerintah harus memberikan pemahaman agar tidak terjadi tindakan diskriminatif, judgemental, dan tidak mendiskriminasi kelompok agama yang tidak ekspresif.
“Orang-orang Islam perlu lebih perhatian, bersama-sama mereka tumbuh untuk dikawani bersama-sama. Jangan dimusuhi justru harus diisi dan bersinergi dengan mereka,” tutur Dani di lokasi yang sama.

Jumat, 30 Agustus 2019

FI’L AL-AMR (KATA PERINTAH)

Soal:
Saudaraku yang dimuliakan, amiruna, semoga Allah menjaga dan memelihara Anda serta menguatkan Anda dengan orang ikhlas dan kuat dari kaum mukmin. Semoga Allah menolong Anda atas beban berat yang Anda pikul. Dan semoga Allah menghimpun kami dan Anda dalam waktu dekat di mana kami menjabat tangan Anda seraya membaiat Anda untuk mendengar dan taat baik dalam kondisi  yang kami sukai atau tidak.
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Wa ba’du.
Saya mengisi asy-Syakhshiyah juz iii dalam topik al-Fi’lu halaman 168 file elektronik. Saya perhatikan teks berikut “adapun fi’l al-amri adalah apa yang darinya dihilangkan huruf al-mudhâra’ah tidak yang lain”.
Pertanyaannya: fi’lu al-mudhâri’ yaf’alu jika dihilangkan darinya huruf al-mudhâra’ah bukankah menjadi fi’l mâdhi? Artinya bukan fi’l al-amr.
Apakah di dalam ungkapan kita itu ada kata yang hilang dari cetakan?
Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda dan semoga Anda selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Abdurrahman az-Zayud
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda atas doa Anda yang baik. Dan saya memohon kepada Allah SWT taufik dan dukungan untuk kami dan Anda.
Ucapan itu ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii seputar fi’l al-amr: “adapun fi’l al-amr adalah apa yang darinya dihilangkan huruf al-mudhâra’ah, tidak yang lain”, juga ada di buku-buku ushul. Misalnya dinyatakan di al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm karya al-Amidi (i/58):
“Dan al-fi’lu adalah apa yang menunjukkan kejadian yang dikaitkan dengan waktu kejadian. Dan kejadian itu adalah mashdar dan itu adalah ismu al-fi’l (kata benda dari kata kerja). Dan waktu kejadian itu adalah lampau, sekarang dan akan datang. Dan al-fi’lu terbagi menurut pembagian waktu. Al-mâdhî (fi’lu al-mâdhî/kata kerja lampau) seperti qâma(dia telah berdiri) dan qa’ada (dia telah duduk).
Dan masa sekarang dan akan datang ada dalam satu lafazh dan disebut al-mudhâri’ dan dia adalah apa yang di awalnya salah satu dari empat huruf tambahan yaitu: hamzah, at-tâ`, an-nûn dan al-yâ`, seperti ucapan Anda; aqûmu wa taqûmu wa naqûmu wa yaqûmu. Dan pembebasan waktu akan datang dari waktu sekarang dengan masuknya huruf “as-sîn” atau “sawfa” terhadap fi’lu al-mudhâri’, seperti ucapan Anda: sayaqûmu dan sawfa yaqûmu (dia akan berdiri). Dan adapun fi’lu al-amri adalah apa yang darinya dihilangkan huruf al-mudhâra’ah, tidak yang lain, seperti ucapan Anda pada yaqûmuqum dan semisalnya”, selesai.
Misalnya, dinyatakan di Syarhu Alfiyah Ibni Mâlik karya Utsaimin (iii/11 bitarqîm asy-Syâmilah secara otomatis):
[Pengarang rahimahullah berkata, “dan fi’lu amrin dan madhi adalah buniyâ (mabnî), dan mereka memu’rabkan mudhâri’ jika bebas dari nûn at-tawkîd dan nûn al-inâts seperti yar’annu  min fitanin”. Lalu ia berkata, “wa fi’lu amrin wa madhiyin buniyâ -dan fi’lu amr dan madhi adalah mabni-“, yakni: bahwa fi’lu al-amri adalah mabni dan fi’lu al-mâdhiadalah mabni, dan huruf “al-alif” dalam kata buniyâ untuk menunjukkan dua (li tatsniyah) sebab kembali kepada dua.
Wa fi’lu al-amri mabniyun -fil al-amri adalah mabni-. Dan dikatakan adalah mu’rab. Dan yang benar adalah fi’l al-amriitu mabni. Dan fi’lu al-amri itu dibangun atas apa yang dengannya mudhâri’nya dijazimkan. Jika mudhâri’nya dijazimkan dengan sukun maka dia mabnî ‘alâ as-sukûn. Dan jika mudhâri’nya mabnî atas dihilangkannya huruf ‘illat atau dihilangkannya huruf “nûn”, maka demikian juga dia mabni di atas dihilangkannya huruf ‘illat atau dihilangkannya nûnKarena itu, jika anda membuat fi’l al-amr maka lihatlah fi’l al-mudhâri’ yang dijazimkan kemudian hilangkan huruf mudhâra’ah dan huruf jazm”, selesai.
Untuk menjelaskan hal itu bersandar kepada pembahasan kaedah-kaedah bahasa di sumber-sumbernya, kami katakan dan dengan taufik dari Allah:
1- Fi’l al-amr dari sisi redaksi diambil dari fi’l al-mudhâri’ setelah dihilangkan huruf al-mudhâra’ah. Tetapi karena fi’lu al-amri itu dijazimkan maka redaksinya diambil dari fi’l al-mudhâri’ yang dijazimkan (al-mudhâri’ al-majzûm) setelah dihilangkan huruf al-mudhâra’ah, dan tentu saja setelah dihilangkan alat-alat jazm, sebab itu bukan bagian dari al-fi’l. Jika saya ingin sampai ke fi’l al-amri dari fi’l al-mudhâri’ maka pertama saya masukkan huruf jazm, misalnya huruf “lam” terhadap fi’l al-mudhâri’ agar menjadi fi’l majzûm (fi’l yang dijazimkan) kemudian saya hilangkan huruf jazm “lam”, yakni saya sisakan redaksi yang dijazimkan untuk fi’l al-mudhâri’ tanpa alat jazm itu, kemudian saya hilangkan huruf al-mudhâri’ dari fi’l al-mudhâri’ yang dijazimkan itu, hasilnya untuk Anda fi’l al-amr …
2- Misalnya, fi’l “yakhâfu” dengan dimasukkan “lam” padanya menjadi “lam yakhaf”, dan dengan digugurkan “lam” darinya menjadi “yakhaf”, dan dengan dihilangkan huruf al-mudhâra’ah “al-yâ`u” yang ada di awal fi’l, menjadi “khaf”, dan itu adalah fi’l al-amr dari “khâfa”, dan semisalnya fi’l-fi’l: “yanâmu, yaqûmu, yaqûlu, yazûru …”.
3- Misalnya, fi’l “yafî”, dan dengan dimasukkan padanya “lam” menjadi “lam yafi”, dan dengan digugurkan “lam” menjadi “yafi”, dan dengan dihilangkan huruf al-mudhâra’ah “al-yâ`u” yang ada di awal fi’l menjadi “fi”, dan itu adalah fi’l al-amridari “wafâ”. Dan semisalnya adalah fi’il-fi’il: “wa’â, waqâ, ra`â …”.
4- Misalnya, fi’l “yadhribu”, dengan dimasukkan padanya “lam” menjadi “lam yadhrib”, dan dengan digugurkan darinya “lam” menjadi “yadhrib”, dan dengan digugurkan darinya huruf al-mudhâra’ah “al-yâ`u” yang ada di awal fi’l, menjadi “dhrib”, tetapi awal hurufnya yaitu huruf “adh-dhâdu” adalah huruf sukun, dan huruf sukun tidak mungkin digunakan untuk memulai ucapan kecuali dengan hamzah al-washal maka menjadi “idhrib”, dan itu adalah fi’l al-amri dari “dharaba”. Dan semisalnya adalah fi’l-fi’l: “da’â, ‘amala, banâ, …”.
5- Ringkasnya, bahwa jika dihilangkan huruf al-mudhâra’ah dari fi’l al-mudhâri’ yang dijazimkan (al-mudhâri’ al-majzûm) maka dihasilkan fi’l al-amri dan bukan fi’l al-mâdhî. Atas dasar itu, apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii adalah ucapan yang benar sesuai apa yang dijelaskan di atas dan di dalamnya tidak ada “ucapan yang hilang dari cetakan”.
Saya berharap perkara tersebut telah menjadi jelas sekarang.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Syawal 1440 H