Sabtu, 04 Juli 2015

Nilai

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 183)

Kata Shaum merupakan bentuk masdar dari katashama yang dikontruksi dari tiga huruf: shad, alif, mim. Seluruh derivasi tersebut memiliki makna menahan diri, berhenti dan tidak bergerak baik dalam bentuk kegiatan fisikk maupun non fisik serta baik dilakukan oleh manusia maupun makhluk lainnya, seperti binatang atau kendaraan. Karena itu motor yang mogok baik karena bensinnya habis atau karena mesinnya rusak disebut motor yang berpuasa (al-darajah al-sha’imah) atau anak kecil yang mogok makan karena makanannya tidak enak disebut anak yang berpuasa.

Dalam bahasa fiqih, puasa didefinisikan dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, bersenggama dan lainnyadari mulai terbit fajar sidiq sampai terbenamnya matahari. Memberhentikan rutinitas makan, minum dan apapun yang halal pada siang hari adalah praktek minimal dari puasa.

Dalam dunia sufi, puasa ternyata bukan hanya dibatasi pada rutinitas lahiriah, seperti tersebut diatas, tapi juga aktifitas batiniah yaitu upaya menahan diri dari menahan nafsu yang negatif. Karena itu, orang yang bisa menahan marah –misalnya– disebut orang yang berpuasa. Dan tampaknya, makna terakhir inilah yang pengertian puasa yang subtantif yang akan memberi implikasi pada transformasi sosial. Dan pengertian ini sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi; “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu atau kotor, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum (dalam arti puasa)”. [HR. Muslim] dan “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga saja”.

Karena itu, dalam bahasa modern, puasa merupakan salah satu ekspresi dari orang yang bukan hanya cerdas secara spiritual, tetapi juga secara emosional. Hal ini karena puasa akan membentuk kepribadian pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif seperti sabar, empatik terhadap sesama, memilikisocial skill dan lain-lain.

Puasa merupakan syariat semua Rasul sejak Adam hingga Muhammad, hal ini karena puasa merupakan simpul penghubung kesinambungan ajaran universal Allah, tapi juga karena puasa mengandung visi kesuksesan yang selalu diemban oleh para Nabi. Karenanya puasa bukan hanya dimiliki dan menjadi tradisi agama-agama tetapi juga menjadi fenomana kemanusiaan universal sepanjang sejarah. Hal ini seperti yang tersirat dalam penngunaan kalimat pasif dalam ayat (kutiba) dengan tanpa disertai penjelasan mengenai siapa yang diwajibkan. Sebab kalaupun Allah tidak mewajibkan puasa, panyak perilaku dan peristiwa yang mendorong manusia untuk berpuasa tanpa motivasi agama, misalnya agar lebih canti, langsing, sehat dan lainnya. Hal ini diperkuat deng makna esensial puasa yaitu ‘pengendalian diri’ yang diperlukan oleh semua manusia baik secar individu maupun kelompok, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama.

Ibadah puasa tidak sebagaimana ibadah lainnya seperti shalat, zakat dan haji yang lebih berdimensi lahiriah dan bersifat terbuka. Puasa lebih berdimensi personal dan batin, karena itu pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang itu berpuasa kecuali Allah dan pelakunya. Dalam hadits qudsi disebutkan bahwa: “puasa adalah untukku dan Akulah yang menanggung pahalanya” dan hadits yang menjelaskan agar orang yang sedang berpuasa memberitahu kepada orang lain ketika ia dimarahi dengan mengatakan: “inni shaimun”. Dengan posisinya yang demikian itu, puasa dapat menjadi pilar atau basis pembentukan mental yang strategis bagi pelakunya sehingga menjadi orang yang berkarakter baik sebagaimana fitrahnya yaitu jujur dengan tanpa kontrol dari orang lain. Karena itu, puasa sering diidentikkan sebagai sebuah gerakan yang mengarah pada back to basic yang berujung pada ‘id al-fithri (kembali ke fitrah) dan syawwal yang berarti menaiki grafik standar kebaikannya. Puasa yang tidak berujung pada hal itu, patut diragukan keberhasilannya.

Puasa yang mengantakan pada ‘kembali ke asal’ memerlukan proses latihan atau pendidikan secara terus menerus, teratur, mengikuti prosedur tertentu sehingga pusanya memiliki nilai transformatif. Karena itu jangkawaktu pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan didesain selama satu bulan agarmenimbulkan efek positif dan mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu taqwa.Allah memastikan seseorang akan mencapai derajat taqwa dengan syarat iabenar-benar menjalankan puasa sesuai ketentuan (prosedural). Prosedurtersebut dalam hadis Rasululah saw disebut dengan Imanan (dilakukandengan penuh kesadaran, taat, ikhlas karena Allah swt) dan ihtisaban(memelihara puasa dari hal yang membatalkan dan merusak pahalanya).

Taqwa adalah kondisi jiwa seseorang yang penuh dengan kesadaranakan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap aktifitasnya,dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk selalu patuhdan taat mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa berasal dari dalam diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi. Jadi hanya yangbersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya.

Puasa menjadi sarana efektif penanaman sekaligus pengaplikasiannilai-nilai pendidikan Islam. Beberpa nilai-nilai pendidikan penting yang bisadigali dari pelaksanaan ibadah puasa diantaranya: pertama, puasa mengajarikita untuk senantiasa menahan dan mengendalikan diri. Karakter ini sangatdibutuhkan bukan hanya untuk pejabat, tetapi juga untuk rakyat, pelajar, guru,pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Jika karakter ini sudah tertanam dantumbuh subur dalam setiap pribadi bangsa, setidaknya akan meminimalkanpraktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan praktek-praktek tercela lainnya.

Kedua, ketika berpuasa kita juga dilatih dan ditempa untuk sabar,peduli akan sesama, rajin dalam beribadah dan aktivitas-aktivitas positiflainnya, disiplin dan peneladanan sifat-sifat Tuhan kepada diri manusia.Karakter sabar, disiplin, rajin dan peduli ini, sangat penting perannya gunamembawa bangsa bangkit dari krisis berkepanjangan. Sikap sabar dan tabahjuga akan menempa setiap pribadi bangsa untuk berlapang dada ketika segenapusaha yang dilakukan, belum menemukan titik keberhasilan.

Ketiga, puasa mengajari kita untuk memiliki kepekaan (sense ofresponsibility) sensibilitas dan tanggung jawab sosial maupun pribadi.Salahsatu hikmah puasa, adalah penanaman solidaritas sosial dengan anjuran berbuatbaik sebanyak-banyaknya, terutama dalam bentuk tindakan menolong beban kaum fakir miskin. Jika hal ini bisa terus berjalan pada waktu lain di luar bulanpuasa, maka akan menjadi karakter bangsa yang patut disyukuri.Tafsir yang lebih luas, solidaritas sosial yang terpancar dalam dirisetiap pribadi muslim, menjadi bukti menyatunya keimanan dan amal saleh (perbuatan kebajikan). Dengan kata lain, puasa yang mulanya merupakanimplementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosialyang sangat konstruktif. Karakter utama inilah yang diharapkan mampumenempa setiap pribadi bangsa sehingga menjadi pendulum perubahan danperbaikan.

Keempat, melalui puasa sebulan penuh kita dan umat islam padaumumnya akan dilatih, digembleng mempererat dan memperkokohpersaudaraan, senasip-sepenanggungan, mencintai dan menyayangi keluarga,memakmurkan tempat-tempat ibadah dan sebagainya.

Puasa juga mengajarkan kita agar bersikap optimis dan susah dahulu. Hal ini karena puasa mengajarkan pelakunya untuk rela menderita sementara waktu demi meraih keberhasilan ke depan. Puasa adalah sebuah dorongan untuk latihan produktif, sebab orang yang berpuasa menjadi terhindar dari jeratan hal-hal yang sifatnya temporer, dan instan (captive of here and now). Puasa kemudian berimplikasi pada efisiensi dan pengurangan sikap komsumtif-permissif. Sehingga ketika bulan Ramadhan tidak produktif dan boros –misalnya– maka kita perlu mempertanyakan puasa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar