Senin, 28 Maret 2016

nasihat adalah cambuk hati

Nasihat ibarat cambuk yang digunakan untuk memukul hati, ia akan memberi pengaruhnya layaknya cambukan yang mengenai badan.
Pukulan tersebut tidak langsung membekas setelah usai terjadi cambukan, tetapi rasa sakit akan terasa dalam beberapa lama sesuai dengan kuat dan lemahnya pukulan tersebut. Jika pukulan tersebut kuat, maka rasa sakit akan terasa lebih lama.
Sebagian besar kaum salaf, apabila keluar dari majelis dzikir, maka mereka berada dalam kondisi tenang dan nyaman.
Di antara mereka, ada yang tidak sanggup makan setelah itu dan sebagian yang lain, ada yang mengamalkan apa yang didengarnya dalam jangka waktu yang lama.
Sedekah yang paling utama adalah mengajarkan orang yang bodoh atau memperingatkan orang yang lalai. Tidak ada cara yang lebih baik untuk membangunkan orang yang tidur berat dan memperingatkan orang yang lalai daripada memukulnya dengan cambukan nasihat.
Nasihat bagaikan cambuk yang mengenai hati, maka barangsiapa yang merasa sakit karenanya lalu ia menjerit, maka itu tidaklah mengapa.
Suatu hari, Abdul Wahid pernah memberikan nasihat, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menjerit karena mendengarnya,
“Wahai Abu Ubaidah, berhentilah, sungguh engkau telah membuka tabir hatiku dengan nasihatmu.”
Lalu Abdul Wahid menyelesaikan nasihatnya dan lelaki itu meninggal dunia.
Dalam pengajian Asy-Syibli, ada seorang lelaki menjerit kemudian meninggal dunia, dan keluarga lelaki tersebut mengadukannya kepada Khalifah. Kemudian Asy-Syibli berkata,
“Jiwa menjerit lalu ia merasa rindu, ia diseru lalu menyambut seruan itu. Maka apa kesalahan Asy-Syibli?”
Menghukum dengan cambuk hanya berhasil pada badan yang sehat, hati yang kokoh, dan lengan yang kuat. Pukulan itu akan memberikan rasa sakit sehingga orang tersebut tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Adapun terhadap badan yang tidak sehat dan tidak kuat, maka menghukumnya dengan cambukan tidaklah bermanfaat.
Jika Hasan Al-Bashri keluar menemui manusia, seolah-olah ia sedang melihat negeri akhirat dengan langsung, kemudian mengabarkan tentangnya. Jika manusia tidak lagi berada di sisinya, maka mereka tidak menaruh perhatian sedikit pun terhadap kehidupan dunia.
Sufyan Ats-Tsauri selalu menjaga agar majelisnya tidak terpengaruh oleh urusan dunia. Imam Ahmad tidak membicarakan urusan dunia dalam majelisnya dan tidak pula jika ada orang bersamanya.
Sebagian ulama menuturkan,
“Nasihat hanya bisa bermanfaat jika keluar dari dalam hati, karena nasihat tersebut akan sampai pula ke hati. Namun, jika nasihat tersebut keluar dari lisan, maka hanya akan masuk ke dalam telinga kemudian keluar melalui telinga yang lain.”
Sebagian kaum salafus-shalih mengatakan, “Jika seorang yang berilmu menyampaikan nasihatnya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala, niscaya nasihatnya itu akan hilang dari hati pendengarnya seperti berhentinya hujan di saat langit sudah cerah.”
Semoga kita termasuk orang-orang yang mau menerima nasihat.
Demikian dikutip dari kitab Latha`if Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab.
Salakan, 27 Maret 2016
[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar